Pasang IKLAN

Mau Pasang iklan?? 30rb/bulan. berminat kirim email ke hadisucipto1989@yahoo.com. Atau isi coment untuk memesan tempat.


Selamat Datang di Blog Gery Casakom Tempat Belajar Bersama Berbagi Ilmu dan Pengalaman
free counters
ShoutMix chat widget

Senin, 24 Mei 2010

BEBERAPA PEMIKIRAN TERKAIT PEMILU ANGGOTA DPR, DPD, DPRD PROVINSI DAN KABUPATEN/ KOTA
Ditulis oleh Dr. Ir. Hj. Andi Yuliani Paris, M.Sc
Tuesday, 02 October 2007

Pemilu merupakan bagian yang sangat penting dalam membangun sistem politik yang demokratis. Kekuasaan yang pada dasarnya merupakan milik masyarakat dan berada di tangan rakyat, maka melalui pemilu diamanahkan kepada para wakilnya baik di lembaga legislatif, lembaga eksekutif, maupun lembaga-lembaga lainnya. Dalam hal ini pemilu harus terus menerus diupayakan perbaikan dalam segi mutu dan kualitasnya, demi terwujudnya pemilu yang jujur, adil, langsung, bebas, rahasia dan dapat dipertanggungjawabkan.

Revisi Paket RUU Bidang Politik Menuju Pemilu Jurdil


Pemilu merupakan momen penting yang banyak ditunggu-tunggu masyarakat Indonesia khususnya dan masyarakat Internasional pada umumnya. Pemilu yang berjalan tertib, adil dan jujur serta menjadi dambaan berbagai khalayak umum. Maka dalam upaya mewujudkan pemilu yang dicita-citakan tersebut berbagai upaya dilakukan, antara lain membuat UU politik dan segala perangkatnya sebaik dan seideal mungkin. Dalam konteks ini, bagaimana empat paket UU direvisi untuk lebih disempurnakan kembali agar kualitas, akuntabilitas dan legalitas pemilu tidak diragukan lagi. UU yang akan direvisi tersebut yakni UU Pemilu, UU Pilpres, UU Parpol, dan UU Susunan Kedudukan MPR, DPR dan DPD.

Perlunya penyempurnaan UU tersebut pada prinsipinya adalah dalam rangka menyerap aspirasi politik masyarakat, mengevaluasi pelaksanaan UU Paket Bidang Politik yang saat ini masih berlaku, dan sinkronisasi pasal-pasal terkait dalam UU Parpol, UU Pemilu, UU Pilpres, UU Penyelenggara Pemilu, dan UU Susduk.


Sistem Pemilu

Sistem pemilu berfungsi sebagai kerangka bagi proses dan desain pemilu dengan berbagai tahapannya. Sistem pemilu adalah elemen paling mendasar dari demokrasi perwakilan. Selain itu sistem pemilu akan mempengaruhi perilaku pemilih dan hasil pemilihan. Dalam konteks inilah, sistem pemilu dapat mempengaruhi representasi politik dan sistem kepartaian. Secara garis besar, sistem pemilu yang dikenal selama ini ada tga, yakni, proporsional, distrik, dan campuran (semi proporsional).



Sistem Distrik

Sistem distrik lebih menonjolkan calon atau figur semata, sementara parpol hanya menjadi fasilitator. Sistem ini dimaksudkan agar para wakil rakyat menjadi lebih dekat dan memiliki tanggungjawab yang lebih besar dengan rakyat yang diwakilinya, daripada kepada elit parpol.



Biasanya, dalam sistem pemilu distrik, dasar pembagian wilayahnya berdasarkan jumlah penduduk. Luas dan besar wilayah sama sekali tidak menentukan. Dalam sistem ini dikenal istilah the winner takes all (pemenang mengambil seluruhnya perolehan hasil suara). Artinya, apabila sebuah distrik ada dua calon atau lebih, dan seorang calon beroleh suara paling besar, maka pemenang dengan suara terbanyaklah yang memenangkan kursi di distrik tersebut, dengan menafikan hasil perolehan suara calon lainnya. Calon yang berhasil lolos ke parlemen hanyalah calon dengan suara terbanyak saja, tidak ada yang lainnya. Selain itu, dalam sistem ini, jumlah parpol cenderung berkurang dan partai-partai yang baru berdiri akan lenyap, sebagai implikasi dari penerapan prinsip the winner takes all.



Sistem pemilu distrik sebenarnya lebih cocok untuk negara-negara yang masyarakatnya homogen, karena persinggungan politiknya dan implikasinya terhadap keutuhan bangsa atau suatu negara tidaklah terlalu besar. Lain halnya di Indonesia yang masyarakatnya heterogen dan pluralis, dengan beragam suku/ etnis budaya, bahasa dan agama, maka sangatlah kurang tepat atau ideal jika sistem distrik diterapkan. Sistem distrik di Indonesia berpotensi memperkuat adanya desakan, tuntutan untuk memisahkan diri (disintegrasi), karena banyak kepentingan yang tidak terakomodasi dalam representasi. Prinsip the winner takes all, akan menyebabkan banyak suara terbuang percuma, yang bila suara tersebut dikumpulkan dalam skala nasional maka jumlahnya cukup signifikan. Bila suara tersebut diabaikan, justru akan mengurangi mengurangi makna demokrasi yang sesungguhnya dan prinsip-prinsip keterwakilan



Sistem Proporsional

Sistem proporsional lebih bisa menampilkan keragaman kelompok yang ada di masyarakat. Sistem ini sangat cocok untuk negara berkultur heterogen dan plurais, karena lebih dapat mengakomodasi setiap kelompok dalam masyarakat. Di Indonesia, penggunaan sistem proporsional dimaksudkan agar suara rakyat tidak terbuang dan proporsionalitas keterwakilan politik mencerminkan heterogenitas atau keragaman masyarakat dari segi budaya, etnik/suku dan agama. Selain itu, sistem ini memberi peluang partai-partai baru berkiprah di lembaga legislatif. Sebab, jika partai tersebut kalah di wilayah pemilihan tertentu, tidak langsung gugur, karena adanya mekanisme akumulasi suara sisa, sehingga membuka peluang memperoleh kursi di lembaga legislatif.

Adapun kelemahan dari sistem ini adalah kurang mendorong partai untuk berintegrasi satu sama lain. Selain itu, dikhawatirkan wakil yang terpilih akan lebih erat hubungannya dengan partainya daripada konstituennya.




Sistem Campuran (Semi Proporsional)

Dalam sistem ini digunakan kombinasi antara daftar representasi proporsional dengan sistem mayoritas/ pluralitas. Artinya, parlemen dipilih berdasarkan sistem PR (proporsional) dan sisanya dengan sistem mayoritas/ pluralitas (distrik).

Maka, demi penyelengaraan pemilu yang demokratis, semestinya sistem pemilu 2009 yang akan dituangkan dalam UU diharapkan mampu mengakomodasi aspek-aspek penting, yaitu keterwakilan, akuntabilitas, keadilan, persamaan hak untuk setiap pemilih, serta dapat menciptakan pemerintahan efektif dan akomodatif.



Tindakan Affirmative untuk peningkatan Keterwakilan Politik Perempuan

Sistem pemilu sangat menentukan legitimasi para wakil rakyat di lembaga legislatif. Dalam pemilu 2004, Indonesia menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka. Pada pemilihan tersebut, perempuan mungkin yang paling banyak dirugikan. Perempuan kebanyakan diposisikan di nomor terakhir atau nomor yang tidak strategis. Sulit sekali bagi perempuan untuk berada di daftar nomor urut teratas karena persingungan politik di internal partai begitu ketat dan keras. Terlebih lagi jumlah perempuan yang masuk dalam elit parpol masih terbatas, sehingga kurang optimal dalam mendorong terciptanya kebijakan partai yang menjamin keterwakilan politik perempuan di lembaga legislatif.

Keterwakilan perempuan di lembaga legilatif masih kurang, padahal jumlah populasi perempuan di Indonesia lebih banyak daripada laki-laki. Kurangnya julah perempuan di parlemen (legislatif) mengakibatkan banyak persoalan penting terkait dengan peningkatan kualitas hidup hidup perempuan, pendidikan, keterwakilan perempuan dalam politik serta pengambil keputusan, dll, tidak mendapat perhatian sepenuhnya di kalangan parlemen. Hal ini menyebabkan masih banyak legislasi yang diproses atau telah dihasilkan tidak/ kurang sensitif terhadap isu-isu strategis perempuan.

Maka, diperlukan tindakan affirmative dalam rangka meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan di jabatan strategis/ jabatan publik, khususnya di parlemen. Tindakan affirmative yang perlu menjadi perhatian serius dan masukan untuk Revisi RUU paket politik yaitu:

1. Parpol didirikan dan dibentuk sekurang-kurangnya dua ratus lima puluh WNI yang berusia dua puluh satu tahun atau telah menikah dan tercatat dengan akta notaris dan memiliki anggota sekurang-kurangnya tiga puluh persen perempuan.

2. Kepengurusan parpol di berbagai tingkatan wajib menyertakan sekurang-kurangnya tigapuluh persen perempuan sebagai pengurus harian. (RUU Parpol).

3. Kepengurusan parpol di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/ kota dipilih melalui mekanisme pemilihan internal yang demokratis, terbuka dan transparan. (RUU Parpol).

4. Mendorong kebijakan affirmatife dalam pemberian bantuan kepada partai politik yaitu nilai bantuan untuk kursi Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota, bernilai tiga kali lipat, yang diisi oleh perempuan yang terpilih. (RUU Parpol)

5. Harus ada minimal tiga puluh persen perempuan di pimpinan Alat Kelengkapan DPR (Komisi) dan alat kelengkapan lainnya, termasuk Panitia Anggaran. (RUU Susduk).

6. Setiap partai politik peserta pemilu wajib mengajukan daftar calon tetap untuk anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/ kota yang memuat sekurang-kurangnya tiga puluh persen perempuan. (RUU Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD).

7. Daftar calon tetap untuk anggota DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD kabupaten/ kota memuat paling sedikit tiga puluh persen perempuan dan harus ditempatkan pada posisi yang peluang terpilihnya besar (zig zag). (RUU Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD)

8. Dalam Daftar Bakal Calon (Balon) harus mengajukan Balon perempuan paling sedikit tiga puluh persen. Jika menggunakan sistem zigzag, maka harus disebutkan tiga puluh persen perempuan berada di nomor urut 1. (RUU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD).
Electoral Threshold (ET)

Dalam UU Politik, yang paling disorot publik adalah perlunya penyempurnaan hal-hal berkaitan dengan pemberlakukan ET yang dalam UU 12/2003 tercantum angka tiga persen. Sedangkan yang berkembang saat ini dari kalangan parpol-parpol lama yang sudah mengikuti pemilu berulang kali menghendaki agar angka tersebut dinaikkan menjadi lima sampai sepuluh persen dalam upaya menyederhanakan parpol serta agar tidak membingungan masyarakat dan sebagai upaya efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemilu. Namun, parpol-parpol baru yang berdiri sesudah era reformasi berkeberatan dengan perberlakuan kenaikan ET tersebut karena hal itu sama saja menggugurkan parpol-parpol kecil untuk dapat berpatisipasi dan bertarung dalam pemilu nanti. Bagi parpol kecil, biarlah penyeleksian parpol terjadi secara alamiah (seleksi alam), sehingga tidak perlu adanya kenaikan ET di pemilu mendatang.

Di lain pihak, pemerintah lebih cenderung untuk menaikkan angka ET menjadi lima persen. Menurut pemerintah, penetapan ET tiga persen dlm UU Nomor 12/ 2003, belum sepenuhnya menjadi instrumen mewujudkan multipartai sederhana. Dalam Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU Nomor 12/ 2003 tentang Pemilu dinyatakan, suatu partai bisa mengikuti pemilu berikutnya, jika memperoleh sekurang-kurangnya tiga persen jumlah kursi di DPR, sekurang-kurangnya empat persen jumlah kursi di DPRD Provinsi seluruh Indonesia, dan sekurang-kurangnya empat persen jumlah kursi di DPRD Kabupaten/ Kota seluruh Indonesia. Partai yang tidak memenuhi syarat tersebut tetap bisa mengikuti pemilu jika bergabung dengan partai yang memenuhi syarat, bergabung dengan sesama partai yang tidak memenuhi syarat, atau bergabung dengan partai lain untuk membentuk partai baru.

Terkait hal tersebut, ada tiga pilihan yang bisa diterapkan sebagai jalan tengah terbaik, pertama; sebaiknya penggabungan partai politik yang tidak lolos ET dipertahankan. Kedua; jika dihapuskan maka angka ET tetap tiga persen, dengan kata lain tidak ada peningkatan. Ketiga; bagi parpol yang tidak memenuhi atau berada di ambang ET akan diberi kesempatan sekali lagi dan itu, akan lebih baik. Baru kemudian, jika dua kali tidak mencapai ET, baru bisa dibubarkan.

Sebaiknya, kenaikan ET yang lebih dari empat atau lima persen dilakukan secara bertahap, mungkin untuk dua atau tiga pemilu lagi, bukan di pemilu 2009. Jadi, janganlah terlalu dipaksakan kenaikan ET yang terlalu tinggi untuk saat ini, mengingat hal tersebut sama saja mengurangi produktifitas sistem demokrasi itu sendiri dan dikhawatirkan pula dapat mengganggu stabilitas politik nasional.


Daerah Pemilihan (Dapil) & Alokasi Kursi

Dalam pemilu, pembagian dapil merupakan salah satu unsur penting. Penetetapan dapil akan berpengaruh langsung terhadap suatu sistem pemilihan, hubungan antara suara dengan kursi atau berapa jumlah wakil rakyat yang pantas mewakili satu dapil, dan peluang satu parpol untuk merebut kursi.

Penentuan dapil semestinya mempertimbangkan wilayah administrasi pemerintahan, jumlah penduduk dalam batas toleransi dan mengkombinasikan faktor wilayah dengan jumlah penduduk. Untuk pemilu 2009, dapil di semua tingkatan lembaga legislatif sebaiknya mengacu pada pemilu 2004, yakni berdasarkan UU No. 12 Tahun 2003. Ketentuan di UU tersebut menyebutkan, dapil anggota DPR adalah provinsi atau bagian-bagian provinsi. Sedangkan dapil anggota DPRD provinsi adalah kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota. Selanjutnya dapil anggota DPRD kabupaten/kota adalah kecamatan atau gabungan kecamatan.

Dalam rangka penyelenggaraan pemilu jurdil dan akuntabel, sebaiknya kewenangan membentuk dapil untuk anggota DPR dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota diberikan ke KPU, dengan ketentuan setiap dapil memperoleh alokasi kursi antara tiga sampai dua belas kursi. Selain itu, sebaiknya jumlah Caleg per-partai, per-dapil sebesar seratus persen.

Berkaitan dengan alokasi kursi, pemeritah melalui rumusan RUU politiknya, berkeinginan melakukan penataan ulang nilai kursi legislatif dalam proses rekrutmen politik berdasarkan prinsip one person one vote one value (OPONOV) yaitu satu orang, satu suara, satu nilai. Terkait hal ini, pemerintah sepertinya terlalu memfokuskan sistem OPONOV. Ini berarti jika satu kursi dewan sama dengan seratus ribu suara, maka ketentuan tersebut haruslah berlaku di semua tempat terselenggaranya pemilihan. Konsekuensi logis, jumlah anggota dewan yang mewakili di setiap wilayah administrasi tidaklah sama karena bergantung pada jumlah pemilih di masing-masing tempat.

Padahal, prinsip OPONOV bukanlah satu-satunya tolak ukur derajat legitimasi para wakil rakyat. Prinsip tersebut kurang tepat jika dilaksanakan di Indonesia yang memiliki keberagaman wilayah dan budaya. Dikhawatirkan jika dipaksakan dan diterapkan secara murni, konsekuensinya, mayoritas anggota DPR akan mewakili wilayah jawa daripada wilayah lainnya. Hal itu tentunya sangat rentan terhadap perpecahan dan disintegrasi bangsa Indonesia.

Penetapan Hasil Pemilu

Mengenai penetapan hasil pemilu, pemerintah menginginkan agar dilakukan secara berjenjang, untuk anggota DPR ditetapkan KPU pusat, sedangkan anggota DPRD provinsi ditetapkan KPU provinsi, dan untuk anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan KPU kabupaten/kota.

Dalam hal ini, sebaiknya penetapan hasil pemilu ditetapkan secara nasional oleh KPU pusat. Hal ini sesuai dengan pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan, pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Hal ini dengan pertimbangan, jika ada persengketaan dalam pemilu, penyelesaiannya hanya dapat dilaksanakan di Mahkamah Konstitusi yang berkedudukan di Ibukota negara RI, sama dengan kedudukan KPU. Maka, terkait hal tersebut, seharusnya penetapan calonterpilih harus dilakukan KPU di tingkat nasional.

UU No. 22 Tahun 2007 (Penyelenggara Pemilu)

Secara umum, UU Penyelenggara Pemilu mengatur berbagai hal terkait dengan tugas, kewajiban, fungsi, dan kewenangan; a) KPU, KPU Provinsi dan KPU Kab/ Kota sebagai lembaga penyelenggara pemilu dan pilkada yang permanen, b) Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai pengawas pemilu yang tetap dan mandiri, c) Panitia Pengawas (Panwas) Pemilu dan Pilkada yang bersifat ad hoc dan mandiri, serta Sekteratiat KPU. Secara garis besarnya, KPU merupakan pelaksana penyelenggaraan pemilu dalam aspek kebijakan—menjalankan tugasnya sesuai regulasi yang berlaku, Sekretariat sebagai pelaksanana penyelenggaraan pemilu dan pilkada dalam aspek teknis administratif, dan Bawaslu yang merupakan pengawas semua tahapan penyelenggaraan pemilu di seluruh wilayah Indonesia.

Pendanaan penyelenggaraan pemilu juga secara eksplisit disebutkan dalam UU ini. Untuk pemilu legislatif dan pemilu Presiden/ Wapres bersumber dari APBN, termasuk juga anggaran belanja KPU dan Bawaslu. Sedangkan pendanaan untuk pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah bersumber dari APBD. Biaya penyelenggaraan pemilu legislatif dan presiden/wapres wajib diambil dari APBN, demikian halnya biaya pilkada wajib dianggarkan dalam APBD, sesuai tahapan pemilu.

Selain itu, Undang-Undang ini mengatur mengenai pembentukan Dewan Kehormatan yang bersifat ad hoc (sementara)--beranggotakan lima orang yang terdiri dari tiga orang anggota KPU dan dua orang dari masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengawasi tindakan KPU dengan mengedepankan kode etik dan profesionalisme KPU.

Dalam menjalankan tugasnya KPU bertanggungjawab secara fungsional sesuai peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, KPU menyampaikan laporan kinerja dan penyelenggaraan pemilu secara periodik presiden dan DPR, serta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai tembusan. Anggota KPU berjumlah tujuh orang, KPU Provinsi lima orang dan KPU Kab/ Kota lima orang dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya tigauluh persen.

KPU mempunyai sekretariat yang terdiri dari pegawai sekretariat unsur PNS dan tenaga profesional (yang diperlukan). Dalam hal ini Sekretaris Jenderal KPU bertugas mengadakan dan mendistribusikan perlengkapan penyelenggaraan pemilu berdasarkan norma, stradar, prosedur dan kebutuhan yang ditetapkan KPU. Dengan kata lain, anggota KPU tidak lagi mengurusi soal tender, pengadaan dan distribusi logistik pemilu serta pilkada, karena pekerjaan tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab Sekretariat Jenderal KPU dan Sekretariat KPU provinsi dan kabupaten/kota.

0 komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Enterprise Project Management