Senin, 22-10-2007 17:31:56 oleh: Hendrawarman Nasution
Kanal: Opini
Sejak Senin (1/10) lalu Komisi II DPR-RI memulai uji kepatutan dan kelayakan terhadap 21 orang calon anggota KPU yang lolos seleksi. Proses seleksi yang melelahkan dan menghebohkan telah memberikan warna tersendiri bagi KPU baru. Mampukah DPR-RI menyelesaikan tugasnya?
Komisi Penyelenggaraan Pemilu tidak henti-hentinya menuai sorotan dari banyak kalangan. KPU produk sebelumnya, kendati dinilai baik dalam proses penyelenggaraan, beberapa personilnya harus menghabiskan waktu di balik jeruji besi lembaga pemasyarakatan. Oleh pengadilan, mereka terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi.
Sementara itu, kelompok calon anggota KPU yang baru, sejak dini telah menuai silang selisih berbagai kalangan. Ketidaksetujuan banyak kalangan yang dimotori LSM pada umumnya berkisar pada tidak lolosnya jago-jago yang memiliki nama ‘populer' dan keraguan atas metode seleksi penjaringan calon anggota KPU Baru. Ketidakpuasan ini berujung pada dimajukannya gugatan terhadap pemerintah (panitia seleksi) oleh Bung Indra J. Piliang ke PTUN.
Tema paling akhir dari silang pendapat ini adalah ditemukannya bukti penyimpangan data yang dilakukan oleh beberapa peserta seleksi. Komisi II DPR mendapatkan bahwa dua orang peserta tidak memberikan keterangan akurat dalam surat pernyataan bermeterai yang ditandatangani, yaitu mengenai ketidakterlibatan peserta dalam keanggotaan partai politik selama lima tahun sebelumnya. Bahkan, satu di antaranya berhasil lolos ke kelompok 21 dan saat fit and proper test di Komisi II DPR kemarin, dinyatakan tidak memenuhi persyaratan.
Pernyataan non partisan ini merupakan salah satu persyaratan yang dituntut oleh pasal 11 ayat (i) Undang-Undang No. 22 Tahun 2007, yang menyaratkan sterilnya unsur-unsur partai politik dari tubuh komisi. Desain KPU Baru secara tegas menghendaki penyelenggara pemilu yang menerapkan 12 asas yang di antaranya adalah mandiri, jujur dan adil terhadap semua peserta.
Tentu saja hukum dan perundangan harus ditegakkan bagi setiap pelanggaran yang terbukti. Namun tanpa maksud menghilangkan pentingnya masalah di atas, ada masalah yang jauh lebih besar yang memerlukan konsentrasi energi dan kejernihan berpikir.
Tantangan KPU baru
Siapapun yang berkepentingan dengan Pemilu 2009, sepantasnya galau melihat setumpuk permasalahan yang harus dipecahkan oleh KPU baru.
Pertama, dibanding dengan kinerja prima yang dihasilkan KPU 2004, KPU Baru ditantang untuk memberikan kinerja yang minimal sama tapi dengan waktu yang jauh lebih pendek.
Bagaimana tidak, pembahasan paket RUU Politik yang menjadi pijakan komisi dalam merancang master plan kegiatan masih pada tahap pembicaraan Pansus RUU Politik DPR. Tarik menarik kepentingan masih terlihat sangat sarat dan kental. Diskusi mengenai electoral treshold, calon independen, pemetaan daerah pemilihan, dan penentuan jumlah kursi, misalnya, adalah hanya beberapa contoh ketentuan krusial yang harus diselesaikan melalui perdebatan panjang dan melelahkan sebelum sampai pada suatu kesepakatan.
Dalam alam demokrasi, semua pihak memang dituntut untuk sabar dan piawai me-manage perbedaan. Kelumpuhan mengakomodasi kepentingan dalam suatu kesepakatan hanya akan melahirkan bom waktu yang pada gilirannya menimbulkan masalah baru.
Namun demikian, setiap pihak tetap dituntut untuk memperlihatkan jiwa kenegarawanan yang berlandaskan prinsip 'agree to agree' -bukan 'agree to disagree'. Dalam hikmat seperti inilah setiap perbedaan dapat dicarikan solusinya secara cepat dan tepat sehingga rakyat benar memperoleh safa'at yang hakiki.
Olah perbedaan berlandaskan prinsip seperti di atas tampaknya masih sangat sukar muncul di Senayan. Wajar bila sebagian pengamat mengkhawatirkan, bahwa berlarutnya pembahasan paket RUU Politik berimplikasi mundurnya waktu kerja KPU baru. Beban kerja yang terkendala waktu pada gilirannya hanya akan merugikan semua pihak.
Kedua, dinamika pemerintahan daerah yang terus berjalan pun membuat beban kerja tersendiri bagi KPU baru. Pemekaran wilayah yang terus tumbuh mensyaratkan pengisian anggota-anggota DPRD berikut kepala daerahnya. Tahun 2007 ini saja, lebih dari 12 wilayah menuntut pengesahan undang-undang otonomi dari DPR.
Semua itu membawa konsekuensi permasalahannya sendiri, seperti domisili anggota DPRD yang terkena pemekaran, peran ganda kepengurusan Parpol, perbedaan perhitungan perolehan kursi, dll. Belum lagi masalah-masalah yang timbul dari internal partai yang pemecahannya sering memerlukan waktu panjang dan berlarut-larut.
Ketiga, perampingan organisasi juga merupakan ujian tersendiri bagi KPU produk UU No. 22/2007. KPU sebelumnya agaknya jauh lebih beruntung dapat membagi beban secara merata dengan 11 nakhodanya.
Di tengah berkembangnya permasalahan teknis yang digambarkan di atas, personil KPU baru dituntut untuk menjadi ‘superman' yang piawai dalam berbagai hal. Kecuali hal pengadaan dan distribusi barang/jasa yang telah berada di wilayah Sekretariat Jenderal, tugas-tugas lain tidak berkurang dengan disusutkannya formasi keanggotaan KPU.
Sebaliknya dengan tanggung jawab hirarkis yang baru, KPU kali ini dituntut untuk memainkan peranan langsung dalam menghasilkan KPU provinsi yang berkualitas. Undang-Undang No. 22/2007 menghendaki KPU baru bertanggung jawab secara langsung terhadap kinerja KPU di tiap-tiap provinsi.
Last but not least, adalah implikasi yang disebabkan oleh amar putusan judicial review Mahkamah Konstitusi mengenai pencalonan kepala daerah melalui jalur non-partai/perorangan. Walaupun domain kerja ini berada di bawah KPUD, namun lini manajemen menghendaki adanya tanggungjawab hirarki.
Tantangan yang sudah dapat dipastikan dengan munculnya peluang ini, adalah kerja keras ekstra yang berlipat ganda dari tim verifikasi di masing-masing wilayah pemilihan.
Tantangan akan semakin bertambah dengan semakin besarnya syarat dukungan minimal yang dituntut oleh revisi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Misalkan angka yang ditetapkan undang-undang adalah 10% dari jumlah penduduk atau pemilih, dampak dari keputusan tersebut sudah dapat digambarkan.
Seandainya dalam suatu kasus tim verifikasi harus memeriksa 5 orang calon non-partai dari suatu provinsi yang berpenduduk 10.000.000 jiwa, itu berarti tim harus memeriksa keabsahan 5.000.000 dukungan.
Pertanyaan yang perlu dijawab adalah, berapa banyak waktu yang diperlukan dan bagaimana mengantisipasi serta memproses, terutama bila terjadi pelanggaran?
Selain itu yang harus benar-benar diwaspadai adalah, bahwa kabar gembira ini pada tahap tertentu dapat berbalik menjadi bumerang yang dapat mengacaukan proses pemilihan kepala daerah bahkan memicu konflik horisontal yang mengerikan dan mengancam suasana berdemokrasi di negeri tercinta ini.
Semua gambaran di atas hanya bagian kecil dari permukaan gunung es yang tampak pada saat ini.
Tantangan pro-demokrasi
Dalam alam ketatanegaraan RI, KPU hanya dapat dikatakan sebagai bagian kecil dari suatu sistem besar. Kendati memiliki peran sentral dalam penyelenggaraan Pemilu, namun kinerja yang dihasilkannya merupakan fungsi dari berbagai faktor internal dan eksternal. Oleh karenanya, tanpa faktor eksternal yang mendukung, kerja keras organisasi ini akan menjadi tanpa makna.
Tidak dapat ditawar lagi, setelah penetapan KPU Baru diambil, semua komponen pro-demokrasi dituntut untuk berperan serta dalam mensukseskan penyelenggaraan Pemilu. Bukan hanya memberikan partisipasi dalam bentuk kritik tanpa penyelesaian, tapi juga partisipasi sumbang saran yang membangun.
Dari daftar inventarisasi masalah sementara, ada empat simpul utama yang sangat mempengaruhi kinerja KPU baru, yaitu: partisipasi pemilih, peserta Pemilu, organisasi-organisasi eksternal, dan kapabilitas teknis manajemen KPU baru. Interaksi dan conditioning dari faktor-faktor ini akan sangat menentukan kinerja KPU baru.
Partisipasi pemilih, adalah simpul kunci yang dapat menghemat energi KPU baru. Yang menjadi catatan dalam penyelenggaraan Pilkada, Pilpres dan Pemilu Legislatif yang lalu, amburadulnya data pemilih merupakan salah satu sumber petaka.
Banyak pertikaian dan protes muncul akibat absennya sistem registrasi pemilih yang menyeluruh. Untuk menutup kemungkinan berulangnya masalah di atas menjadi cerita bersambung lima tahunan, KPU baru dituntut untuk melakukan manuver inovatif dan proaktif.
Misalnya, lebih mendekatkan pengumuman DPS (daftar pemilih sementara) kepada pemilih, yaitu dari tingkat kelurahan/desa ke tingkat di bawahnya. Sehingga kontrol dan koreksi dapat lebih diakomodir.
Pertanyaan mendasar yang harus dijawab KPU baru adalah bagaimana mendongkrak partisipasi pemilih mulai dari tahap pemutakhiran data sampai dengan tahap pendaftaran dan pencoblosan. Kemampuan membuka simpul-simpul masalah di atas, akan sangat meringankan kerja KPU Baru sekaligus mendongkrak legitimasi rakyat.
Peserta Pemilu. Dalam banyak kasus, sengketa dengan dan antar-peserta pada umumnya disebabkan karena kurangnya akuntabilitas dan transparansi penyelenggaraan pemilihan. Perlakuan yang adil dan setara terhadap peserta sering kali menjadi hal yang mengemuka untuk dipenuhi penyelenggara.
Hal yang sering kali terlupakan untuk meredam masalah ini adalah absennya keterlibatan peserta dalam pembuatan kebijakan KPU, terutama mengenai tata cara penyelenggaraan dalam tiap-tiap tahapan Pemilu. Ketiadaan forum komunikasi yang berfungsi menjembatani perbedaan peserta Pemilu juga menjadi penyebab kebuntuan aspirasi.
Oleh karenanya, tidak ada salahnya diciptakan forum komunikasi peserta Pemilu yang mampu mengakomodasi aspirasi peserta. Fungsi utama dari forum ini adalah sebagai jembatan yang menghubungkan KPU dengan tim pendukung peserta Pemilu secara reciprocal.
Organisasi-organisasi eksternal. Simpul ketiga ini, walaupun tampak ideal di dalam peraturan tapi seringkali tersendat-sendat dalam pelaksanaan. Kelambanan sistemik dan mengakar dalam institusi birokrasi telah membuat berlarutnya berbagai kebijakan yang seharusnya mendapat respon cepat. Belum lagi kalkulasi untung rugi bila salah seorang peserta pemilihan adalan calon incumbent.
Berbagai kasus sebelumnya, dalam pengadaan dan distribusi barang/jasa, menunjukkan pada kita betapa sulitnya melakukan koordinasi antar instansi. Untuk ini, KPU baru dituntut untuk lebih piawai dalam melakukan pendekatan-pendekatan formal maupun informal dalam koordinasi dengan instansi lain. Namun, tentu saja KPU baru juga dituntut selalu eling untuk tetap berada dalam koridor hukum yang ada sehingga tidak terjebak dalam ketergesaan -seperti yang dialami oleh senior pendahulunya.
Saat ini, dengan beradanya pengadaan dan distribusi barang/jasa dalam domain Sekretaris Jenderal, peluang untuk terjebak pelanggaran secara langsung atas Keppres 80/2003 dapat diminimalkan.
Namun ini tidak menghilangkan risiko. Secara administratif, KPU baru tetap bertanggungjawab atas timbulnya penyimpangan-penyimpangan yang ada. Kendati penyimpangan yang dilakukan oleh orang lain.
Selain itu, tantangan di depan mata adalah koordinasi internal. Dalam hal ini, sinkronisasi akselerasi Sekjen dengan KPU baru harus benar-benar menyatu sehingga masing-masing pihak berada dalam speed kerja yang sama.
Kapabilitas teknis manajemen KPU baru. Mengingat begitu singkatnya waktu yang diberikan oleh undang-undang untuk penyelenggaraan Pemilu, baik Pilpres maupun legislatif, KPU baru ditantang untuk mampu menyelesaikan setiap tahapan pemilihan secara baik, benar dan tepat waktu. Ini berarti, KPU baru dituntut mempunyai kapabilitas manejemen yang teruji sehingga mampu menyelesaikan masalah yang muncul mengenai teknis kepemiluan.
Pengalaman mengenai kepemiluan yang dimiliki oleh beberapa kandidat, harus diakui sebagai modal berharga dalam membuat perencanaan yang realistik. Namun pengalaman bukanlah segalanya, karena tidak ada seorang pun yang memiliki pengalaman menjadi bayi sebelum ia dilahirkan. Yang terpenting adalah adaptability KPU Baru terhadap lingkungan, situasi, kondisi, dan masalah yang ada.
Akhirnya, kontrol berbagai kalangan yang concern dengan perkembangan demokrasi di republik tercinta harus merupakan bagian perjalanan KPU Baru. Bukan untuk saling menjatuhkan dan menepuk dada, tapi untuk melayani paduka rakyat dan bangsa Indonesia.
Seleksi Anggota KPU
Dalam Undang-Undang Penyelenggara Pemilu juga diatur tentang pemilihan anggota KPU yang dilakukan secara selektif, transparan, dan profesional. UU ini mengatur proses seleksi anggota KPU yang dilakukan oleh sebuah tim seleksi agar terpilih anggota KPU yang baik, profesional, dan bertanggung jawab.
Adapun seleksi KPU di tingkat pusat dilakukan dengan cara, pertama; presiden membentuk tim seleksi, kedua; tim seleksi melakukan seleksi untuk mendapatkan bakal calon anggota KPU sebanyak tiga kali jumlah anggota KPU yakni duapuluh satu nama, ketiga; presiden menetapkan calon anggota KPU tersebut yang selanjutnya disusulkan ke DPR, keempat; DPR kemudian memilih dan menetapkan anggota KPU sebanyak tujuh orang untuk selanjutnya nama tersebut di sampaikan kepada presiden, kelima; Presiden mengeluarkan Kepres.
Sedangkan untuk seleksi di tingkat provinsi sebagai berikut; KPU membentuk tim seleksi dengan anggota tim satu dari Gubernur, dua dari DPRD Provinsi, dua dari KPU, kemudian KPU memberitahukan kepada Gubernur dan DPRD Provinsi. Selanjutnya Gubernur dan DPRD Provinsi menetapkan anggota tim seleksi dalam waktu empat belas hari kerja sejak diterimanya surat. Lewat waktu tersebut KPU berwenang mengisi dan menetapkan anggota tim seleksi. Kemudian, tim seleksi melakukan seleksi untuk mendapatkan calon anggota KPU Provinsi sebanyak dua kali jumlah anggota KPU Provinsi (sepuluh nama), lalu tim tersebut menyampaikannya kepada KPU, dan terakhir, KPU memilih dan menetapkan anggota KPU provinsi sebanyak lima orang.
Untuk seleksi di tingkat Kab/ Kota, (a) KPU membentuk tim seleksi dengan anggota tim satu dari Bupati/ Walikota, dua dari DPRD Kab/ Kota, dua dari KPU Provinsi. KPU Provinsi memberitahukan kepada Bupati/ Walikota dan DPRD Kab/Kota untuk kemudian menetapkan anggota tim dalam waktu empat belas hari kerja. Lewat waktu itu KPU Prov. berwenang mengisi dan menetapkan anggota tim seleksi. (b) Tim seleksi melakukan seleksi untuk mendapatkan calon anggota KPU Kab/ Kota sebanyak dua kali jumlah anggota KPU Kab/ Kota (sepuluh nama), kemudian tim menyampaikan nama tersebut kepada KPU Prov. c) KPU Prov. memilih dan menetapkan anggota KPU Kab/ Kota sebanyak lima orang.
Pentingnya Keterwakilan Perempuan di KPU
KPU merupakan lembaga independen dan mandiri sebagai penyelenggara pemilu di Indonesia. Terkait hal itu, tentunya anggota-anggota KPU harus bersikap independen, mandiri dan objektif di setiap proses tahapan penyelenggaraan pemilu. Dalam mewujudkan pemilu yang demokratis dan berwibawa, perempuan sebagai WNI dengan populasi jumlah yang lebih besar dari kaum pria, memiliki nilai strategis dalam keikutsertaanya menjadi anggota KPU.
Peran serta perempuan di KPU akan memberikan pengaruh positif terhadap upaya peningkatan keterwakilan perempuan di jabatan strategis. Hal terpenting yang patut diperhitungkan, dengan masuknya perempuan di KPU, akan menjaga dan menggawangi suara perempuan yang akan bertarung menjadi calon anggota legislatif. Pengalaman membuktikan, perempuan banyak dirugikan dengan banyaknya suara yang hilang, serta persyaratan-persyaratan bersifat administratif yang juga hilang/ lenyap. Padahal, semuanya sudah dipersiapkan dengan segala daya upaya (tenaga, pikiran dan materi) dan susah payah.
Maka, sudah seharusnya perempuan yang concern dengan peningkatan keterwakilan politik perempuan tidak hanya sekadar menjadi pengamat saja dalam pemilu mendatang, namun masuk dalam struktur KPU. Apalagi keterlibatan perempuan di KPU sudah terjamin dalam UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. UU tersebut menegaskan, keanggotaan KPU Pusat/ provinsi/ kabupaten/kota dan keanggotaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Panitia Pengawas (Panwas) provinsi/Kab/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya tiga puluh persen.
Berdasarkan UU tersebut, peluang perempuan cukup besar untuk masuk dalam KPU. Pertama; perempuan dapat masuk dalam anggota KPU Pusat yang berjumlah tujuh orang, serta KPU Provinsi/ Kabupaten/ Kota yang berjumlah lima orang. Kedua; perempuan bisa masuk di jabatan dewan kehormatan KPU yang anggotanya berjumlah lima orang. Ketiga: perempuan dapat masuk dalam keanggotaan Bawaslu dan Panwaslu sesuai tingkatannya masing-masing. Keempat; perempuan dapat menjadi anggota PPK/ PPS/ KPPS/PPLN / KPPSLN dan berperan aktif dalam proses pelaksanaan pemilu di wilayahnya masing-masing.
Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Pemilu
UU ini menyebutkan tentang pengawasan penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan oleh Bawaslu, Panwaslu provinsi/kab/kota/kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.
Adapun hal-hal yang perlu diawasi dalam penyelenggaraan pemilu yaitu sebagai berikut;
a) bawaslu, mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilu di seluruh wilayah Indonesia,
b) panwaslu provinis/kabupaten/kota, antara lain mengawasi semua tahapan pemilu di wilayah provinsi/kabupaten/kota, meliputi pemuktahiran data pemilih, pencalonan, penetapan pasangan calon kepala daerah & wkl. Kepala daerah, dst,
c) panwaslu kecamatan, antara lain mengawasi semua tahapan pemilu di wilayah kecamatan, meliputi pemuktahiran data pemilih, kampanye, perlengkapan pemilu serta pendistribusian, dst.
Terkait dengan keberadaan Bawaslu dan hubungannya dengan KPU, hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah, Bawaslu mempunyai kewenangan memberikan rekomendasi kepada KPU untuk memberikan sanksi administrasi terhadap pelanggaran yang dilakukan anggota KPU Provinsi/Kab/Kota.
UU ini juga memberikan kewenangan kepada KPU untuk menonaktifkan sementara dan atau mengenakan sanksi administratif pada anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Sekjen KPU, dan pegawai Sekjen KPU yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan tahapan pemilu yang sedang berlangsung. Namun demikian, kewenangan tersebut berdasarkan rekomendasi dari Bawaslu Pemilu dan ketentuan perundangan yang berlaku. Hal ini penting untuk mencegah munculnya celah bagi upaya penggagalan pemilu dari dalam.**
Enam Anggota KPU Selain Samsul Harus Dilantik
KESRA-- 19 OKTOBER: Penundaan pengangkatan Syamsul Bachri sebagai anggota KPU periode 2007-2012 tidak akan menimbulkan masalah terhadap kinerja KPU yang baru. Karena itu, Presiden SBY diminta berkoordinasi dengan DPR agar segera melantik ke enam anggota KPU lainnya.
Demikian ditegaskan mantan anggota KPU Anas Urbaningrum dan Direktur Eksekutif Cetro Hadar N Gumay dalam perbincangan dengan Media Indonesia di Jakarta, Jumat (19/10).
Menurut Anas, penundaan pelantikan satu anggota KPU tidak akan berpengaruh terhadap kinerja keseluruhan anggota KPU dalam mempersiapkan pemilu 2009. Pasalnya, masih ada enam anggota lainnya yang secara kualitas dan kapasitasnya mampu menjalankan tugas-tugas KPU.
"Jadi jika Presiden tetap melantik enam anggota lainnya secara kelembagaan tidak akan menggangu kinerja KPU," tegas Anas.
Ia menambahkan anggota KPU dalam tugasnya juga akan dibantu oleh Sekretariat Jendral KPU yang sudah teruji dan berpengalaman dalam melaksanakan proses pemilu sebelumnya. "Ini (kerjasama dengan sekjen KPU) faktor penopang kinerja yang cukup penting untuk mendukung pekerjaan para anggota KPU yang baru."
Untuk itu, tandas Anas, tidak menjadi masalah jika Presiden tidak melantik ketujuh nama yang diajukan DPR seperti yang diamanatkan UU KPU. Namun, lanjut dia, hal ini harus dilakukan presiden dengan tetap berkoordinasi dengan DPR. Pasalnya, jelas Anas, penundaan pelantikan Samsul Bachri bukan berarti menolak ketujuh nama yang diserahkan oleh DPR.
Sebab, menurutnya, status penundaan Samsul sekarang tidak serta merta menggugurkan keanggotaannya sebagai anggota KPU. "Tidak ada masalah. Penundaan pelantikan tidak bertentangan dengan ketentuan (DPR) tersebut," ungkapnya.
Dalam kesempatan ini, Anas menyampaikan inisiatif Samsul untuk mengajukan penundaan pelantikan patut dihargai oleh publik. Ia menilai status tersangka Samsul saat ini jelas secara psikologis dapat mengganggu kinerja yang bersangkutan jika tetap dilantik sebagai anggota KPU.
"Karena itu, agar terang semuanya maka proses hukum terhadap Samsul harus diprioritaskan untuk segera menuntaskan dan jelas bagaimana masa depannya sebagai anggota KPU terpilih," jelasnya.
Sementara itu, Hadar juga meminta presiden dan DPR melakukan terobosan baru dengan tetap mengangkat enam anggota KPU lainnya, meskipun tidak sesuai UU KPU. Presiden harus berani melakukan terobosan untuk dibicarakan dengan DPR. Kalau tetap ditunda publik akan melihat lembaga ini bermasalah," tegasnya.
Ia menyatakan pelantikan anggota KPU baru agar bisa segera bekerja menjadi sangat mendesak. Sebab, ungkap dia, KPU saat ini sedang dalam masa rekonsiliasi setelah terjerat kasus korupsi dan penyuapan pada masa kepimpinan anggota KPU lalu. "Anggota KPU yang baru harus segera dilantik dan membuktikan mereka dapat bekerja maksimal melaksanakan pemilu 2009 yang bersih dan jujur," tandasnya.
Karena itu, ia juga menyarankan agar nama Samsul yang telah dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus korupsi ini tetap dicoret dari tujuh nama anggota KPU yang baru. Menurutnya, meski akhirnya Samsul nanti dinyatakan tidak bersalah dan tetap dilantik, kepercayaan publik terhadap integritas KPU tetap akan hilang.
"KPU harus diisi oleh orang-orang yang teruji intergritasnya, tidak bisa diisi sembarang orang. Ini yang harus jadi pertimbangan presiden dan DPR," tambahnya. (mo/pd)
Pemerintah Usulkan Penambahan 10 Kursi Anggota DPR
KESRA--11 JULI; Pemerintah mengusulkan penambahan 10 kursi anggota DPR, dari 550 menjadi 560, berdasarkan pertimbangan bahwa jumlah kursi anggota DPR pada setiap provinsi merupakan perwujudan DPR sebagai perwakilan penduduk.
Usulan penambahan kursi anggota DPR itu disampaikan Mendagri Ad Interim Widodo AS dalam rapat kerja pertama Panitia Khusus DPR dengan agenda penjelasan pemerintah atas RUU tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD, dan RUU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, di ruang rapat Komisi II DPR RI Jakarta, Selasa.
Dari unsur pemerintah, selain Mendagri Ad Interim Widodo AS, hadir juga Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata, dan Sekretaris Negara Hatta Radjasa, dan sejumlah pejabat dari instansi terkait.
Widodo mengatakan, basis penghitungan alokasi kursi anggota DPR adalah jumlah total kursi pemilu tahun 2004 sebanyak 550 kursi. Dengan asumsi jumlah penduduk tahun 2005 berjumlah 220.953.634 jiwa yang diperoleh dari angka kesetaraan nasional 401.734.
"Penetapan alokasi kursi anggota DPR untuk setiap provinsi dilakukan berdasarkan hasil pembagian antara jumlah penduduk setiap provinsi dengan angka kesetaraan nasional," katanya.
Konsekuensi dari perhitungan seperti itu, lanjut Widodo, alokasi kursi anggota DPR tiap provinsi pada pemilu tahun 2009 dan seterusnya ada yang tetap, ada yang bertambah, dan ada yang berkurang dibandingkan dengan alokasi kursi anggota DPR tiap provinsi tahun 2004.
"Termasuk provinsi yang memperoleh alokasi kursi anggota DPR yang berkurang adalah Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi NAD," katanya.
Berdasarkan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, pemerintah mengusulkan alokasi kursi anggota DPR RI untuk ketiga provinsi itu, pada pemilu 2009 dan seterusnya tidak lebih kecil dibandingkan alokasi kursi pada pemilu tahun 2004.
Usulan pemerintah yang lain di antaranya daerah pemilihan untuk anggota DPR tidak berubah, meskipun penentuan daerah pemilihan untuk anggota DPR RI pada pemilu 2004 masih banyak kelemahan.
"Tetapi banyak pendapat yang mengatakan bahwa sebaiknya daerah pemilihan tidak perlu diubah dulu, khususnya pada pemilu 2009. Hal itu untuk menjaga konsistensi akuntabilitas antara seorang anggota DPR RI dengan masyarakat di daerah pemilihannya," katanya.
Satu-satunya kemungkinan perubahan daerah pemilihan, lanjut Widodo, adalah terbentuknya Kota Depok sebagai daerah pemilihan tersendiri. Hal itu, dimungkinkan apabila KPU menggunakan rumusan penjelasan Pasal 25 ayat (1) yang menyebutkan, dalam hal tertentu daerah pemilihan dapat merupakan daerah kabupaten/kota.
Bila Depok ditetapkan sebagai daerah pemilihan terpisah dengan Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi, maka akuntabilitas anggota DPR hasil pemilu tahun 2004 yang berasal dari daerah pemilihan V Jawa Barat tidak mengalami perubahan yang signifikan bahkan lebih intensif karena lebih memfokuskan pada konstituennya hanya dalam satu kota yaitu, Kota Depok.
Pemerintah juga mengusulkan, untuk jumlah kursi anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dilakukan dengan cara menetapkan angka kesetaraan kursi dengan cara membagi jumlah penduduk provinsi dengan jumlah kursi DPRD provinsi/kabupaten/kota, menetapkan alokasi satu kursi langsung untuk setiap kabupaten/kota/kecamatan.
Sementara daerah pemilihan anggota DPRD provinsi adalah kabupaten/kota dan daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota adalah kecamatan. (cn/broto)
Penundaan Pelantikan Samsul Bisa Timbulkan Masalah Baru
KESRA--23 OKTOBER: Sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menunda pelantikan Samsul Bahri sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan upaya jalan pintas dalam menyelesaikan persoalan keanggotaan KPU.
"Tindakan ini sebenarnya akan menimbulkan masalah hukum baru dan dengan sendirinya akan muncul pertanyaan tentang keabsahan dan pelantikan anggota KPU 2009-2014," kata Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti di Jakarta, Selasa (23/10).
Menurut Ray, penetapan status Samsul Bahri sebagai anggota KPU harus menjadi jelas dalam batasan waktu tertentu. "Ini penting demi menyelamatkan wibawa dan kehormatan KPU agar kinerjanya bisa maksimal," katanya.
Ray mengusulkan agar Samsul Bahri didiskualifikasi sebelum dilantik. "Hal itu bisa dilakukan karena Samsul telah melakukan kebohongan publik saat fit and proper test di DPR," katanya.
Untuk mengisi kursi yang kosong, lanjutnya, dapat tetap merujuk dan dilaksanakan sesuai dengan mekanisme seperti yang diatur dalam UU 22/2007. "Pergantian itu tidak menimbulkan masalah atau kontoversi yang baru," ujarnya. (mo/pd)
Senin, 24 Mei 2010
Mempersiapkan KPU Baru
11.12
HADI SUCIPTO
No comments
0 komentar:
Posting Komentar