Pasang IKLAN

Mau Pasang iklan?? 30rb/bulan. berminat kirim email ke hadisucipto1989@yahoo.com. Atau isi coment untuk memesan tempat.


Selamat Datang di Blog Gery Casakom Tempat Belajar Bersama Berbagi Ilmu dan Pengalaman
free counters
ShoutMix chat widget

Senin, 24 Mei 2010

Sabtu, 08/09/2007 05:47 WIB
Polemik Golkar, Bisa Berpengaruh Perolehan Suara



JAKARTA – Gejolak di internal Partai Golkar diprediksi akan berpengaruh terhadap perolehan suara pada pemilu 2009 nanti. Jika polemik itu tidak segera diselesaikan, perolehan suara Golkar diprediksi akan berkurang.

Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mengatakan, pengurus Golkar harus segera menetralisir keadaan agar gejolak yang terjadi tidak meluas.

“Fungsionaris Golkar harus segera melakukan pembenahan. Kalau tidak segera dikelola dengan baik akan berpengaruh terhadap stabilitas partai,” kata Ray saat dihubungi, Jumat (7/9/2007).

Menurut dia, polemik di internal Golkar telah mengarah kepada perpecahan. Dalam analisisnya, Ray menjelaskan di internal Golkar muncul dua faksi, yakni faksi barat dan faksi timur. Faksi barat merupakan pendukung Akbar Tandjung dan faksi timur terdiri dari kubu Jusuf Kalla. “Munculnya faksi-faksi itu berpotensi memecah kesolidan Golkar,” terang dia.

Pendapat berbeda disampaikan pengamat politik dan peneliti Center Strategic for International Studies (CSIS), Indra J. Piliang. Menurut dia, Golkar didukung oleh keberadaan sumber daya manusia (SDM) yang bagus. Sehingga, setiap perselisihan yang terjadi segera diselesaikan.

“Partai Golkar tidak tergantung kepada tokoh tertentu. Roda organisasi di internal parpol berjalan baik,” kata dia saat dihubungi terpisah.

Karena itu, pihaknya optimistis gejolak yang terjadi tidak akan berimplikasi besar terhadap perolehan suara. Bahkan, Indra berpendapat gejolak yang terjadi justru akan memunculkan konsolidasi baru dan soliditas di internal Golkar. “Terlalu jauh kalau ada yang memprediksi suara Golkar akan menyusut,” tandas dia.

Menurut dia, justru gejolak tersebut menguntungkan Golkar karena terjadi tahun ini. Seandainya, gejolak itu terjadi pada tahun 2008 akan sangat berpengaruh pada perolehan suara. Meski demikian, lanjut Indra, Golkar mempunyai manajemen konflik yang bagus. Buktinya, setiap ada pemecatan hampir tidak menimbulkan gejolak internal.

Selain itu, kata dia, Golkar pernah mengalami konflik terkeras di beberapa daerah. Namun, kenyataannya tidak terlalu berpengaruh terhadap perolehan suara Golkar. Hanya Indra menilai, saat ini telah terjadi personalisasi politik di tubuh Golkar. Sebab, kritikan pada satu orang dianggap sebagai pukulan terhadap partai secara keseluruhan. Semestinya, dengan SDM yang mumpuni, konservatisme itu tidak terjadi di Golkar. “Saya kurang tahu apakah polemik ini justru akan membuat Akbar Tandjung kembali ke Golkar tanpa harus ‘menampar’ Jusuf Kalla,” ujar Indra.

Ketua DPP Partai Golkar Firman Subagyo menepis tudingan itu. Menurut dia, hingga saat ini konsolidasi Golkar di bawah kendali JK masih berjalan baik. Bahkan, DPP terus melakukan koordinasi ke tingkat bawah untuk mengawal pelaksanaan pilkada. “Masalah ini tidak perlu dibesar-besarkan. Roda kepengurusan di Golkar tidak terpengaruh dengan isu ini,” kata Firman. (ahmad baidowi/sindo/kem)



Senin, 27/08/2007 11:14 WIB
Polda Jateng Siap Sweeping Anggota Soal Senpi Ilegal

SOLO – Polda Jateng menyatakan siap menggelar sweeping pada anggota polisi yang diindikasi menyimpan senpi rakitan illegal dari Aceh.

Sweeping digelar menyikapi kasus tertembaknya Bripda Vera oleh senpi rakitan illegal kenang-kenangan petugas polisi saat bertugas di Aceh.

“Membawa senpi rakitan dari Aceh sebagai kenang-kenangan kebiasaan kurang baik. Kami akan menggelar sweeping pada anggota,” tedas Kapolda Jateng Irjen Pol Dody Sumantyawan pada wartawan sebelum berbicara dalam pelatihan “Polisi dan Manajemen Konflik” di Mapolwil Surakarta, Senin (27/8/2007).

Dia menjelaskan, anggota polisi yang membawa senpi rakitan dari Aceh sebagai bentuk melanggar hukum. Sebab, semua orang termasuk petugas dilarang menyimpan senpi tanpa izin. Hal itu diatur dalam UU Darurat Nbo 12/1951.

Menurut Kapolda, sweeping akan dilakukan pada petugas dijajaran Polda Jateng yang pernah bertugas di Aceh maupun daerah konflik lain. Sweeping perlu dilakukan karena ada indikasi anggota polisi lain yang juga membawa senpi rakitan saat bertugas di daerah konflik.

Dalam kesempatan itu, Kapolda juga mengatakan jika korban dalam proses operasi pengambilan peluru. Dia kembali menegaskan jika kasus itu merupakan kecelakaan. Hal itu didukung oleh arah peluru yang menempus korban dari bawah ke atas.

Disinggung soal senpi rakitan tersebut, menurut Kapolda mirip jenis Colt 38 kaliber 9 mm. Yang pasti, tambahnya, pemilik senpi rakitan illegal Bripda Asep tetap diproses hukum. Dia berharap, dengan sweeping pada anggota kasus serupa tidak terulang di kemudian hari. (sumarno/sindo/sjn)


Kamis, 12/04/2007 10:34 WIB
KKP Mendaki Terjalnya Perdamaian
Oleh: Willy Aditya



Prolog

Pasang surut penegakan HAM dan pengungkapan kejahatan masa lalu di Indonesia kembali menarik nafas dalam. Setelah berjalan 2 tahun lebih Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) atau Commission of Truth and Friendship yang dibentuk Pemerintah Indonesia dan Timor Leste menghangat kembali setelah menghadirkan kesaksian mantan Presiden B.J. Habibie.

Bak mencari jarum dalam tumpukan jerami, setidaknya begitulah kalau menggutak-atik persoalan kebenaran yang berkaitan dengan kekuasaan bersifat kroni (saling melindungi). Langgam demokrasi dan penegakkan hukum dan perubahan di Indonesia yang transaksional sifatnya (sepenggal/parsial) acap kali mentah di ranah negosiasi politik. Proses negosiasi dijalankan seperti orang-orang sedang bermain kartu truf atas dosa-dosa politik masa lalu mereka (penguasa Orde Baru).

Dalam sejarahnya keputusan referendum yang ditempuh Mantan Presiden Habibie banyak dimaknai sebagai sebuah usaha untuk mendongkrak posisi politisnya. Naiknya Habibie ke tampuk Kepresidenan tidak melalui persetujuan yang legitimet dan sangat rapuh karena mendapat jabatan tersebut tidak lewat parlemen atau proses konstitusional yang wajar. Manuver referendum dinilainya memiliki peluang untuk meraih simpati di kalangan dunia Internasional dan PBB. Seolah tak mau berhenti blunder politik Habibie pada masa transisi ini juga melakukan perubahan administrasi negara dengan mengubah sekitar 1000-an Peraturan Pemerintah pada masa transisi demokrasi di Indonesia. Semasa menjadi Presiden, Habibie juga melakukan pengesahan Undang-undang Otonomi Daerah untuk merespons sentimen anti-Jawa dan anti-Golkar yang meluas seiring dengan semangat Reformasi 1998.

Kembali ke konteks Timor-Timur, ada dua hal yang perlu dibahas secara detail sebelum kita mengambil kesimpulan yang terburu-buru atas nama bela-tanah air, kejahatan kemanusian, dan perdamaian internasional. Pertama adalah konteks geopolitik untuk memandang masuknya Indonesia ke dalam konflik Timor Timur di Asia Tenggara dan keterlibatan dunia Internasional. Kedua, ambiguitas keterlibatan PBB mulai dari aneksasi Timor Timur sampai perannya sebagai peace maker pasca referendum. Inilah dua poin pembahasan yang akan diurai untuk melihat perkembangan KKP sebagai sebuah langkah dalam pembangunan perdamaian.

War of Position sebagai Warisan Perang Dingin

Pada masa Orde Lama di bawah bendera revolusi nasional Bung Karno, Indonesia melakukan war of position terhadap negara-negara bekas koloni bangsa-bangsa Eropa di Asia Tenggara. Dengan visi revolusionernya Bung Karno memandang dua Barat adalah dua sisi keping mata uang yang di satu sisi mengilhaminya dengan prinsip demokrasi dan ide Afklärung namun disisi lain juga harus ditolak jalan kolonialisasi dengan alasan Gold, Gospel, dan Glory. Dalam pilihan war of position nya Bung Karno dicatat oleh dunia sebagai pemimpin dan negarawan yang yang mempersatukan negerinya tanpa meneteskan setitik darah pun. Atas dasar agen dekolonialisasi-lah Bung Karno merebut Irian Barat dan Konfrontasi dengan Serawak.

Pramudya Ananta Toer dalam Timor Timur Sisa Perang Dingin mencoba menarik perbandingan tipologi kepemimpinan Bung Karno dengan Soeharto. Pramudya memberikan gambaran, walaupun kesatuan administratif Indonesia dilahirkan sebagai warisan kolonialisme Belanda, tetapi sebagai kesatuan politik tata-kenegaraan Bung Karno-lah satu-satunya pemimpin Indonesia yang mewujudkannya dengan damai. Sementara langkah Soeharto dipandang sama dengan negara-negara seperti India/Pakistan, Korea, Jerman dengan jalan yang menumpahkan darah dalam membangun negara dan kekuasaannya.

Kejatuhan Orde Lama dan Bung Karno tak dapat disangkal adalah efek domino dari operasi Barat dalam memutus “rantai merah?? di Asia Tenggara sebagai produk perang dingin. Begitu juga seterusnya dengan pola yang berlaku pada aneksasi Timor Timur oleh Soeharto pada Desember 1975. Kalau dalam konteks, Bung Karno, proses kejatuhannya ditandai dengan menguatnya posisi Front Nasional NASAKOM yang dibangun olehnya. Barat (dalam hal ini Amerika dan sekutunya) menangkap sinyal bahaya atas prakarsa Soekarno ini. Sementara dalam kasus Timor Timur, kemenangan de facto Fretelin yang berhaluan merah atas UDT pasca kolonialisasi Portugis membuat Amerika Serikat memberikan restu pada gabungan pasukan UDT, Apodeti, dan TNI untuk melakukan pendudukan wilayah Timor Timur.

Artinya Indonesia dan Timor Timur merupakan bagian integral dari sejarah hitam warisan perang dingin yang menyisakan kejahatan kemanusian dan penguasaan geopolitik regional yang berkiblat pada kekuasaan dunia.

Ambiguitas Peran PBB

Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB pada tahun 1976 mengeluarkan resolusi yang keras berkenaan dengan intervensi Indonesia di Timor Timur untuk segera menarik pasukan TNI. Namun Pemerintah Orde Baru Soeharto tidak pernah menggubris himbauan tersebut karena rendahnya perhatian negara-negara pemain utama di masyarakat internasional yang menyebabkan Resolusi Dewan Keamanan menguap begitu saja.

Bulan Juli 1976, setelah mengabaikan keprihatinan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Soeharto mengumumkan Timor Timur sebagai provinsi ke-27 Republik Indonesia. Tetapi tindakan ini tidak diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa, status Timor Timur masih tetap berada dalam agenda PBB. Resolusi Majelis Umum PBB 30/37 tahun 1982 menetapkan suatu proses perundingan antara wakil-wakil Portugal dan Indonesia, namun proses inipun berlangsung setengah hati.

Merujuk dokumen An Agenda for Peace yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa Bangsa, proses perdamaian terdiri dari beberapa langkah. Proses damai dimulai dengan pembangunan kapasitas dalam jangka waktu yang panjang, rekonsiliasi, dan transformasi sosial. Proses damai membutuhkan waktu panjang setelah konflik kekerasan mulai mereda di antara dua pihak yang bertikai.

Dalam konflik Timor Timur, PBB tidak konsisten dengan dokumen yang mereka keluarkan sendiri untuk menempuh proses damai sesuai dengan langkah yang ada. Hal ini sangat kentara dengan keputusan Sekjen PBB yang mempersingkat proses damai dengan jalan mempercepat pengumunan hasil jajak pendapat. Koffi Annan mengambil keputusan tidak hanya menyalahi dokumen PBB sendiri tetapi juga tidak berbasis historis dan geneologi konflik di Timor Timur.

??Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1999 Kofi Annan telah ingkar janji. Hal itu terbukti dari langkah Annan yang memajukan jadwal pengumuman hasil jajak pendapat di Timor Leste dari rencana semula 7 September menjadi 4 September 1999.?? Begitulah setidaknya statement yang dikeluarkan mantan Presiden B.J Habibie.

Banyak proses damai merujuk skema Dziedzic (Potensial for Organised Violence) yang menggunakan pengklasifikasian aktor-aktor kekerasan pasca konflik yang membutuhkan waktu untuk pengurangan keterlibatan kekerasan dalam proses damai disepakati. Aktor pertama adalah Militer, yang harus ditarik dari keterlibatannya. Karena militer selalu menjadi representasi konflik dengan intensitas tinggi. Penarikan pasukan militer membutuhkan waktu 0-6 bulan awal, dan proses seterusnya sampai 2 tahun dengan grafik yang terus menurun. Kedua, Milisi atau Paramiliter yang merupakan komponen masyarakat yang memiliki senjata dan terlibat aktif selama konflik. Penarikan peran milisi dan paramiliter dilakukan pada tahap kedua pada tahun pertama sampai tahun kedua. Proses kedua ini dijalankan dengan membentuk polisi sipil yang secara transformatif menggantikan aktor ketiga Polisi untuk menjamin proses damai berjalan integratif dan utuh.

Dalam Kerusuhan pasca referendum di Timor Timur, PBB tidak mengkalkulasi sebaran dampak atas konsekuensi mempercepat hasil referendum diumumkan. Kekeliruan dalam manajemen konflik yang dibangun oleh PBB khususnya dalam memetakan aktor-aktor potensial kekerasan. Apalagi pasukan TNI yang disiapkan untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan pasca pengumuman referendum di Timor Leste masih dalam perjalanan. Diperparah dengan keberadaan milisi yang memanfaatkan sentimen bela bangsa dengan hasil referendum.

Epilog

J. Darby dalam The Effects of Violence on Peace Processes, menggambarkan proses damai seperti mendaki sebuah gunung. Darbi memberikan analoginya dengan proses damai tak ubahnya dimana sebuah ekspedisi sebelumnya banyak mengalami kegagalan, tidak ada jejak yang jelas, banyak kecurigaan dan sifat egois dalam tim, tidak ada pola yang sama untuk setiap gunung dan banyak hal yang harus dipertimbangkan dan bila salah satunya diabaikan akan membahayakan keseluruhan ekspedisi.

20 tahun pendudukan Indonesia di Timor Timur melahirkan kejahatan berat terhadap kemanusiaan. Kejahatan ini meliputi: pembunuhan, termasuk pembunuhan massal, penyiksaan, penculikan, serangan seksual, dan serangan terhadap anak-anak, serta deportasi massa, dan dislokasi paksa. Kejahatan terhadap kemanusiaan juga meliputi penghancuran besar-besaran tempat tinggal, dan pelayanan dasar untuk menegakkan hak dasar rakyat Timor Timur atas kesehatan dan pendidikan.

Tugas berat KKP dalam mendaki gunung perdamaian di tengah fakta-fakta yang bersilewan dan kabut kekuasaan yang tebal. Mantan Presiden B.J Habibie sudah dihadirkan untuk diminta kesaksiannya. Lalu bagaimana dengan aktor-aktor besar seperti Sekjen PBB, Panglima TNI, dan para Jendral lainnya yang berkaitan dengan konflik di Timor Timur tahun 1999, kapan?

Penulis, Litbang Voice of Human Rights dan Mahasiswa Program Master Defence and Security Studies ITB – Cranfield University UK.

0 komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Enterprise Project Management