Manajemen Efektif untuk Atasi Konflik
* DPA Usulkan Rekonsiliasi Nasional
Jakarta, Kompas
Pengamat politik Eep Saefullah Fatah menyatakan, inilah saatnya kita memikirkan bersama tentang perlunya sebuah sistem manajemen konflik yang baik. Itu berguna untuk meredam pertikaian politik lanjutan antara lembaga kepresiden dengan parlemen pasca Sidang Paripurna DPR, serta di kalangan pemerintah sendiri. Ini penting, karena dua bulan ke depan ini sungguh merupakan masa-masa krusial bagi Indonesia.
"Potensi ke arah konflik itu tetap ada. Itu bisa membesar atau mengecil. Semua itu tergantung pada kemampuan kita mengelola konflik itu dengan menekan biaya sosial sekecil mungkin," ungkapnya kepada pers usai menemui Menko Polsoskam Susilo Bambang Yudhoyono di kantornya, Kamis (31/5) sore. "Saya dipanggil beliau untuk diajak berdiskusi," katanya di awal wawancara.
Bersama Eep ikut pula Kepala Staf Teritorial (Kaster) TNI Letjen Agus Widjojo dan Ketua FKKI DPR Sutradara Gintings. Setelah menerima mereka, SB Yudhoyono menerima Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Achmad Tirtosudiro.
Kepada pers usai pertemuan, Tirtosudiro mengungkapkan, ia bersama Yudhoyono mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan untuk menyelesaikan masalah bangsa sekarang ini.
"Kami hanya bertukar pikiran, kebetulan searah-seiring. Kami di DPA sekarang sedang mencari solusi. Salah satu istilah yang dipakai dengan konotasi yang lain adalah rekonsiliasi nasional. Hal ini harus dicapai se-sudah kepemimpinan nasional diselesaikan. Diselesaikannya bagaimana? Nah, itu akan berkembang. Kami mulai dengan program yaitu bisa meliputi stabilitas politik, keamanan, eko-nomi moneter, dan sosial budaya," papar Tirtosudiro.
Institusi "penggebuk"
Kepada Menko Polsoskam itu Eep menyatakan posisi pengemban Maklumat Presiden jangan sampai menjadi semacam institusi "penggebuk" demokrasi. Sebaliknya ia mengharapkan, kedudukan itu seharusnya bisa menjadi "pagar" untuk melancarkan proses transisi demokrasi yang aman. Posisi ini harus dicermati, karena dalam konflik politik yang membesar bisa jadi orang lalu tidak mempedulikan hukum, undang-undang, dan lupa budaya serta etika.
Menurut dia, dua bulan mendatang ini diharapkan bisa menjadi momentum baik bagi semua pihak untuk menyadari bahwa inilah saatnya kembali menata diri dan etika bersama dalam berbangsa dan bernegara. Sidang Istimewa MPR mendatang, kata Eep, jangan hanya bertujuan minta pertanggungjawaban Presiden, melainkan juga lebih penting bagaimana bisa memperbaiki kerangka bernegara secara utuh.
"Kita tidak hanya ingin mengganti Presiden, misalnya, atau memperbaiki hubungan Presiden dengan DPR, melainkan bagaimana kerangka bernegara itu bisa diperbaiki.
Itu termasuk persoalan ketatanegaraan menyangkut prosedur bagaimana seorang Presiden bisa diberhentikan di tengah masa jabatannya. "Itu ternyata kita belum punya mekanismenya yang telah kita sepakati bersama yang membuat semua orang-para ahli politik dan tata negara-mengatakan, inilah aturan main kita," jelasnya.
Ia mengingatkan kembali solusi yang pernah ditawarkan DPA kepada Presiden pada 7 Februari lalu. Pertama, Presiden menyerahkan sepenuhnya kewenangan Kepala Pemerintahan kepada Wakil Presiden yang selanjutnya disarankan dikukuhkan dengan Ketetapan MPR dan Presiden berperan sebagai Kepala Negara.
Kedua, Presiden menyatakan diri sebagai Presiden non-aktif atas pertimbangan kesehatan dan menyerahkan kewenangan kekuasaan kepada Wakil Presiden, baik selaku Kepala Negara maupun Kepala Pemerintahan yang dikukuhkan dengan Ke-tetapan MPR.
Ketiga, terhadap tuntutan sebagian masyarakat yang menghendaki Presiden tidak melanjutkan kepemimpinannya hendaknya disikapi dengan kebesaran jiwa, kearifan, kebijaksanaan, dan sifat kenegarawanan demi masa depan bangsa dan negara.
"Dalam kondisi sekarang itu salah satu opsi, mungkin ada opsi lain. Ini perlu dibicarakan antarberbagai golongan, oleh partai-partai maupun di MPR/DPR. (bur/ryi)
Manajemen Konflik
Senin, 25 April 2005 | 02:38 WIB
TEMPO Interaktif, :
Kabar buruk hampir selalu membayangi setiap kabar baik yang dibawa oleh angin demokratisasi. Demokratisasi gelombang ketiga yang menyapu hampir separuh permukaan bumi sejak 1970-an disertai oleh merebaknya ketidakpastian, eskalasi konflik, bahkan ancaman perang sipil.
Kenyataan itu menggarisbawahi bahwa konflik sejatinya omnipresent, ada di mana saja. Ia melekat pada tiap aktivitas hidup bermasyarakat dan mustahil dibikin binasa. Rezim-rezim otoritarian atau totalitarian sejatinya tak pernah bisa membunuh konflik melainkan sekedar menekannya ke bawah permukaan tanpa meresolusikannya secara layak. Salah satu karakter sistem non-demokratis itu pun adalah kegagalan membangun pelembagaan (institusionalisasi) konflik.
Maka, ketika demokratisasi mulai bergulir, musim panen konflik seolah tiba-tiba saja datang. Indonesia bukan pengecualian. Sejak bergulir sekitar tujuh tahun lampau, demokratisasi memfasilitasi eskalasi ketegangan dan konflik politik. Ketidakpastian (atau kebelumpastian) semasa transisi menjadi semacam lahan subur bagi ketegangan dan konflik. Setiap ajang kompetisi, semacam pemilihan umum, pun menjadi salah satu arena aktualisasinya.
Begitulah, salah satu kecemasan yang menyeruak di balik penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung adalah merebaknya konflik. Belakangan, media massa -- baik cetak maupun elektronik -- menyebarluaskan kecemasan ini dalam liputan mereka.
Masuk akalkah memelihara kecemasan itu? Bagi saya, jawabannya adalah: Tentu saja! Pilkada adalah arena politik lokal yang berpotensi -- sekali lagi, berpotensi -- menjadi lahan subur bagi pertikaian atau konflik politik.
Bahkan, ditimbang dari aspek-aspek tertentu, Pilkada memiliki potensi lebih besar dalam menyulut konflik politik ketimbang pemilihan langsung Presiden yang kita laksanakan tahun lalu. Dengan skalanya yang bersifat nasional Pemilu Presiden melahirkan ancaman konflik yang ketampakan, intensitas dan cakupannya lebih kecil kerimbang Pilkada yang bersifat lokal.
Pemilu Presiden berlangsung di sebuah arena nasional yang amat besar dan luas. Ia melibatkan penduduk dalam wilayah geografis yang luas dan dengan identitas golongan yang amat beragam. Konsekuensinya, konflik dalam Pemilu Presiden tidak terlampau tampak di hadapan masyarakat.
Ketegangan dan konflik politik tak hadir secara langsung di hadapan masyarakat lokal di Sumbawa, Kalimantan Timur, Papua -- sekadar menyebut beberapa contoh. Konflik hanya terasa langsung oleh masyarakat di Jakarta dan kota-kota besar tertentu yang menjadi pusat pertarungan politik utama. Masyarakat di tempat-tempat lain, apalagi di pelosok, hanya merasakan konflik sebagai realitas media, bukan realitas senyatanya. Ketampakan konflik pun rendah.
Sementara itu, Pilkada menghidangkan konflik langsung ke depan masyarakat dengan ketampakan yang tinggi. Mengingat relatif sempit dan terbatasnya arena politik
Pilkada, ketegangan dan konflik politik pun hadir sebagai realitas yang nyata, bukan realitas maya atau realitas media. Bagi masyarakat, ketegangan dan konflik politik bukanlah sesuatu yang abstrak, nun jauh di sana. Ia nyata, ada di halaman bahkan di dalam rumah mereka sendiri.
Konflik politik Pilkada pun potensial hadir dalam intensitas yang tinggi. Sebab, masyarakat berpotensi memiliki keterikatan emosional dengan isu-isu dan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik itu. Konflik Pilkada potensial menjadi konflik mereka sendiri, bukan milik orang atau pihak lain.
Berbeda dengan itu, konflik di arena politik nasional biasanya berpusar pada isu-isu yang terlalu besar buat masyarakat lokal. Konflik pun tak potensial mengikat masyarakat secara emosional. Konflik tak berdaya magnit cukup kuat untuk menarik masyarakat terlibat di dalamnya.
Ketemapakan dan intensitas konflik pilkada yang cenderung tinggi berkonsekuensi pada tingginya cakupan atau skala konflik. Jumlah partisipan konflik Pilkada potensial lebih besar dan massif karena konflik hadir di tengah masyarakat dan bahkan cenderung menjadi milik mereka. Dilihat dari skalanya, konflik Pilkada pun potensial lebih besar ketimbang konflik Pemilu Presiden.
Menyadari fakta itu, salah satu bagian penting dari penyelenggaraan Pilkada adalah menyiapkan pola manajemen konflik. Sejatinya manajemen konflik adalah tugas dan tanggung jawab pemilik otoritas - yakni para pejabat publik - di bidang politik, keamanan dan hukum. Sekalipun demikian, perumusan pola manajemen konflik selayaknya melibatkan berbagai pihak: para pejabat publik, para pelaku sector bisnis, dan kalangan civil society.
Berbagai kalangan masyarakat di daerah selayaknya saat ini mulai secara proaktif menyiapkan rumusan pola manajemen konflik itu. Sebelum sampai ke sana, kesadaran akan perlunya pencegahan konflik selayaknya ditransformasikan menjadi gerakan antikekerasan.
Selayaknya, kita tak menghabiskan waktu, energi dan konsentrasi untuk terlibat dan larut dalam konflik politik di seputar Pilkada. Selayaknya, disisakan waktu, energi dan konsentrasi cukup besar untuk mencegah agar jangan sampai Pilkada menjadi ajang dari eskalasi konflik. Yang kita perlukan bukan cuma pemilu yang bebas dan kompetitif melainkan juga damai.
Eep Saefulloh Fatah
Wakil Direktur Eksekutif
The Indonesian Institute
esf@theindonesianinestitute.com
eepsf@yahoo.com
Senin, 24 Mei 2010
11.12
HADI SUCIPTO
No comments
0 komentar:
Posting Komentar